Puisi-puisi Eddy Pranata PNP
Eddy Pranata PNP— meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017, 2018, dan 2019. Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Sejak tahun 2014 mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019). Puisinya dipublikasikan di Horison, Litera, Kanal, Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Suara NTB, Solopos. dan lain-lain.
Badut Stasiun Pondok Cina
Di luar nalarku, seperti biasa; air mataku jatuh
Tak terkira. Membasahi tirus pipi
: Badut mencari rezeki di emperan stasiun Pondok Cina
Ia bergoyang-goyang menghibur getir nasibnya
Mengikuti dentuman musik dangdut dari sound musik ala kadar
Dan orang-orang lalu-lalang di depannya, tak
Peduli dengan langkah tergesa, entah ke mana
Mungkin segera ke kekasih ke anak-istri atau ke
Pembaringan yang paling sunyi
Dalam kamar Puisi, o, dalam selimut jingga!
Jakarta, 2019
Sajak Laut yang Berkeringat
Apa pun, bagaimana pun, lautku tak akan kausuka
taklah apa, lautku sudah terbiasa luka
sudah terbiasa luka
Di lautku tak ada yang harus kaurindukan
terumbu karangnya, rumput lautnya, deru ombaknya, amis kelatnya
juga buih yang memecah, sampan yang rapuh, dan cahaya mercusuar
yang senantiasa menerpa sajak-sajak sederhanaku
Aku ciptakan laut dengan sajak-sajakku
kugelorakan ombak membentur menghempas karang
aku enyahkan segala cinta serupa buih
: hanya orang pilihan bisa berlayar
lautku dalam dan senantiasa berangin kencang
“Di tengah kota, di ujung desa atau di tengah laut, engkau—
bagiku sama saja: Sajak Berkeringat!”
(Kalau engkau laut, aku tenggak seluruh airnya
aku telan seluruh karangnya)
Tetapi kalau engkau mabuk lautku muntahkan, muntahkan
seluruhnya hingga tuntas remah kata-kata
Dan kutulis sajak ini tidak untuk buih yang memecah
tidak untuk angin yang basah dan kelat
tidak untuk laut dan pantai yang kehilangan pesona
tidak untuk seorang yang tengah menjahit luka
tidak untuk yang menggunting dalam lipatan
tidak untuk yang menohok kawan seiring
tidak untuk yang berladang di punggung orang
dan tidak untukmu yang memecah cermin
ketika dilihat buruk muka serupa drakula!
Jaspinka, 2019
Segeralah Bawa Perahumu
Seseorang yang mungkin tidak engkau kenal
telentang di atas perahumu
: Perempuan berwajah tirus dan pasi
“Ia sakit hati dan pikiran, sudah bertahun-tahun…”
Engkau segeralah bawa perahumu ke selat yang jauh
selat yang di kiri kanannya tebing karang
berlumur sinar rembulan
Kalau perahumu tiba-tiba oleng
karena angin laut kelat deras menderu; bertasbihlah
Biarkan camar yang sayapnya patah sebelah
terus mempertaruhkan hidupnya di tengah laut
darahnya yang menetes akan kian mengelatkan laut
mencipta cahaya ketika langit gelap
O, laut dan langit berpendar cahaya!
Cirebah, 27 Maret 2019
Sesayat Luka Mengapung di Langit Malam
Lelaki yang sudah sangat pikun terlentang dingin
di atas tikar dipan tua
dalam kamar yang cat dindingnya mengelupas
tubuhnya kurus nyaris tinggal kulit pembalut tulang
airmatanya senantiasa tergenang
: “Engkau tidak mau makan apa-apa, engkau hanya ingin
menelan keping cahayadari hati anak-anaknya”
Sesayat luka mengapung di langit malam
“Pada akhir perjumpaan ini, ayo, kita masuk
ke dalam diri” bisiknya: “padang gersang dan senja
merah tembaga, oase di ujung langit
lalu bergulinganlah ke puncak sunyi
engkau menjelma laba-laba dan membuat jaring
untuk menangkap dan mengekalkan sayap kasih”
Lembutkan hati dan pikiran, mengembaralah
ke belukar jiwa yang gersang dan tandus
singkirkan duri dan sembilu sepanjang perjalanan diammu
: Hidup harus melipat amarah agar langkah tidak tersesat
ke jurang yang dalam dan menyakitkan
Dan setelah senja benar meninggalkan kemilau matahari
engkau jadikan malam-sunyi jadi serpihan puisi
yang paling nyeri, yang paling abadi.
Jaspinka, 2019
“